Selasa, 23 September 2014

Sejarah Kebaya dan Perkembangannya

Jika kita bicara tentang kisah di balik kebaya, sama halnya dengan membuka lembaran sejarah bangsa kita. Evolusi kebaya tak bisa lepas dari evolusi kita sebagai masyarakat berbudaya. Mengikuti perjalanan riwayat bangsa kita, lembar kisah tentang kebaya pun dibuka. Irama turun-naiknya politik dan perjuangan berimbas pada pergeseran warna budaya dan pada gilirannya mempengaruhi cita rasa dan warna kebaya.

Kebaya memiliki asal usul yang menarik. Dalam catatan sejarah, kata 'kebaya' berasal dari bahasa Arab, Tiongkok, dan Portugis yang menjadikan 3 bangsa tersebut terkait erat dengan asal muasal kebaya. Ada yang mencatat bahwa kebaya berasal dari bahasa Arab 'habaya' yang artinya pakaian labuh yang memiliki belahan di depan. Berkaitan dengan ini, Denys Lombard, seorang sejarawan yang menekuni budaya Jawa, menulis dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya (1996) bahwa kata 'kebaya' berasal dari bahasa Arab 'kaba' yang berarti pakaian. Di masa kini, istilah Abaya juga masih dipergunakan dalam bahasa Arab untuk menunjuk tunik panjang khas Arab.

Ada juga yang mencatat bahwa kata 'kebaya' diperkenalkan lewat bahasa Portugis saat bangsa ini mendarat di kawasan Asia Tenggara. Di masa itu kebaya digunakan untuk menunjuk atasan atau blouse yang dikenakan oleh wanita Indonesia antara abad ke-15 dan 16 Masehi.

Pendapat yang lain menyatakan bahwa kebaya berkaitan dengan pakaian pankang wanita yang dikenakan pada masa kekaisaran Ming di Tiongkok. Pengaruh dalam gaya pakaian ini menyebar ke Asia Selatan dan Tenggara sekitar abad ke-13 sampai 16 Masehi melalui penyebaran penduduk dataran Tiongkok. Pengaruh ini kemudian menyebar ke Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi.

Perkembangan kebaya erat pula kaitannya denga penyebaran agama Islam di Indonesia sekitar abad ke-15. Pergeseran budaya berpakaian terlihat pada perkembangan kerajaan-kerajaan kuno ke era Kesultanan atau kerajaan Islam di pilau Jawa. Sebelum abad ke-15, masyarakat Jawa Kuno lebih lazim dengan kain panjang, tenun, ikat, maupun kemben. Arca dan relief yang menjadi bagian dari bangunan kuno dan candi sebelum abad ke-15 juga menunjukan hal yang demilian. Sebagian besar kaum pria tidak menggunaan atasan dan hanya mengenakan kain dan celana serta aneka perhiasan an atributnya.

Pada tahun 1600, kebaya dikenakan secara resmi oleh keluarga kerajaan. Seelah penyebaran agama Islam, kebaya menjadi busana yang populer, bahkan menjadi simbol status. Dokumentasi lama Kreajaan Islam Cirebon, Surakarta, maupun Yogyakarta menunjukan penggunaan busana ini bagi keluarga kerajaan. Atasan kebaya biasanya dipadukan dengan kain batik sebagai jarit atau bawahan. Di era Kartini, kebaya sendiri juga dikenakan oleh perempuan Belanda dipadukan dengan kain batik.

Pada masa penjajahan Belanda, busana kebaya digunakan sebagai busana resmi wanita eropa. Pada masa itu, kebaya hanya menggunakan bahan tenunan mori lalu dikembangkan juga menggunakan sutera dengan sulaman warna-warni. Busana ini disebut juga 'Nyonya Kebaya' oleh orang-orang Peranakan dari Malaka. Pada awalnya, kebaya dikenakan dengan sarung dan kaus cantik bermanik yang sering disebut "kasut manek" hingga mengalami permbaharuan.

Pada abad ke-19, kebaya menjadi pakaian sehari-hari bagi semua kelas sosial baik perempuan Jawa maupun peranakan Belanda. Kebaya bahkan sempat menjadi pakaian wajib para perempuan Belanda Kebaya bahkan sepat menjadi pakaian wajib para perempuan Belanda yang berdatangan hijrah ke Hindia (sebutan bagi Indonesia kala itu). di salah satu koleksi foto dalam buku dokumentasi Nieuwenhuys Met vreende ogen: tempo doeloe - een verzoken wereld (1988) oleh penulis fotografi Rob Nieuwenhuys, terdapat foto nyonya Belanda di abad ke-19 yang mengenakan kebaya sutera hitam bersematkan bros.

Kebaya juga pernah mengalami kemerosotan status pada masa penjajahan Jepang ketika kebaya diasosiasokan sebagai pakaian yang dikenakan oleh pribumi tahanan dan pekerja paksa perempuan di asa itu.

Pada masa kemerdekaan, kebaya dan kain batik menjadi simbol perjuangan dan nasionalisme. Nilai dan status kebaya kembali naik dan dijadikan sebagai busana di acara-acara resmi maupun kenegaraan. Kebaya memiliki makna memikat, menarik hati, indah, dan mempesona. Dengan daya kreativitas prima, para pencinta kebaya ingin memberikan nuansa baru dalam khasanah berkebaya di Indonesia, agar ciri khas dari bangsa Indonesia ini berkembang dan tetap diminati dari generasi ke generasi.

Terlepas dari sejarah naik dan turunnya pamor kebaya, perkembangan kebaya sendiri sangatlah bervariasi. Kini kebaya berkembang bukan hanya sebagai busana resmi. Banyak desainer yang melakukan terobosan dengan memadupadankan kebaya dengan bawahan, aksesoris, maupun motif yang lebih kasual. Kebaya juga tak lagi diasosiasikan sebagai busana ibu-ibu. Kebaya telah meluas penggunaannya bagi para remaja.

Aneka kreasi kebaya, mulai dari kebaya tradisional hingga kebaya modifikasi makin berani menampilkan inovasi-inovasi. Perkembangan kebaya tercipta dari perkembangan mode yang sudah tertular dari busana itu sendiri, misalkan gaun atau busana sehari-hari lalu dituangkan dalam busana kebaya yang semakin banyak permintanya untuk busana pesta pengantin gaun. Dan tidak berhenti disini saja, sampai kapanpun mode berjalan maka busana kebaya pun akan terus mencari variasi sendiri sesuai apa yang diinginkan oleh si pemakai.

Mulai dari model hingga pemilihan kain bisa saja mengikuti perkembangan mode yang ada atau disesuaikan dengan selera si pemakai juga ide kreativitas sang desainer. Inspirasi kebaya pun bisa diambil dari beragam baju khas wanita indonesia, namun untuk bisa tampil lebih berani biasanya terletak pada penempatan aplikasi aksesoris yang dapat mempercantik hasil akhir dari rancangan kebaya yang kita inginkan.

Dikutip dari buku "Chic In Kebaya" by Ria Pentasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar